Jumat, 22 November 2013

(cerpen) Sampai Akhir

Wajah itu terlihat sangat cantik. Seolah ia tersenyum kearah Fredo. Memandangnya, hanya menyisakan perih dalam hati pria itu. Masih jelas dalam pikiran Fredo ketika ia mengikat janji sehidup semati bersama Janet. Dihadapan Tuhan ia pernah berjanji untuk tetap setia kepada wanita yang telah menjadi pilihan hatinya itu. Senyum dari bibir Janet yang laksana mawar merah baru merekah menambah kebahagiaan dihatinya. “ Ini adalah ikrarku dalam hati. Bahwa aku akan selalu ada dalam situasi apapun dihidupmu” bisiknya lembut di telinga Janet. Terpencar rasa haru dipelupuk mata Janet. Setetes air bening jatuh seketika dari matanya yang lentik. Sekitar lima tahun yang lalu, ketika secara tidak sengaja Janet hampir saja terpeleset jatuh ke paret. Setelah disuruh dosennya membawa seabrek buku setebal buku-buku mantra di serial Harry Potter di perpustakaan Howguart. Kebetulan Fredo berpapasan dengan Janet dan hampir saja buku-buku dalam genggaman Janet menimpa Fredo. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah awal dari cerita cinta mereka. “Aku mencintaimu Fred!” ujar Janet. Airmatanya tidak berhenti menetes. “Apa yang sedang engkau pikirkan?” tanya Fredo curiga, setelah menyaksikan bulir-bulir airmata Janet yang semakin deras mengalir. “Ini menandakan bahwa aku sedang berbahagia. Karena pada akhirnya aku berhenti pada cintaku yang sebenarnya” ucapnya. Senyum Fredo kembali merekah. Rasanya tak ingin hari ini cepat berlalu. Bertemu, mengenal, menjalin cinta hingga menyatukan cinta lewat pernikahan yang sakral dengan Janet, menciptakan bahagia yang tidak ternilai bagi Fredo. **** Tetapi inilah cinta, tidak pernah pamit ketika ia pergi. Dan datang kembali secara tidak terduga. Satu bulan setelah resepsi pernikahan, mereka yang sederhana telah berlalu. Kehadiran Janet dalam hidup Fredo membuat hidupnya terasa lebih indah. Tidak pernah sekalipun ada keluhan yang terucap dari bibirnya. “Mengapa wajahmu terlihat pucat sayang!” kata Fredo sepulang kerja ketika mendapati Janet terkulai lemas di sofa. “Saya mual Fred!” jawabnya ringan. “Kita harus segera ke rumah sakit” kata Fredo khawatir. Dengan sigap Fredo meraih kembali kunci motor yang baru saja ia letakkan diatas meja. Pikirannya diliputi rasa cemas. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Janet, istrinya. Melihat Fredo panik, petugas rumah sakit dengan cepat membawa Janet ke ruang perawatan. Jantung Fredo berlaju semakin kencang saja. Otaknya dipenuhi rasa cemas. Wajahnya saja sudah terlihat lusuh. “Apa yang terjadi dengan istri saya dok?” serbunya ketika dokter keluar dari ruangan tempat Janet tengah dirawat. Dokter hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Fredo terlebih dahulu. “Istri bapak tidak apa-apa. Dan sepertinya, ada kabar baik. Istri anda sedang hamil” jelas dokter. Rona wajah Fredo yang sedari tadi pucat karena cemas, kini berubah cerah. Karena sebentar lagi ia akan menjadi seorang bapak dari hasil cintanya dengan istri yang sangat ia cintai. “Jangan terlalu cemas, apakah anda tidak dapat membaca tanda-tanda bahwa istri anda sedang hamil sebelumnya?” tanya dokter ketika Fredo mengikutinya dari belakang menuju ruang administrasi. “Maklumlah dok, sebagai pasangan muda, saya belum paham betul dengan tanda-tanda kehamilan seperti yang sedang dialami istri saya” jawab Fredo malu-malu. Wajahnya merah karena merasa telah dipermalukan oleh kekurangtelitiannya pada istrinya sendiri. Tanpa permisi terlebih dahulu pada dokter, Fredo sudah menghilang. Dokter hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum sendiri melihat rasa gembira Fredo. Ia menatap istrinya bangga. Dasar memang wanita terkadang cengengnya tidak bisa ditahan. Janet kembali menitikkan airmata. Yah! Airmata bahagia. Fredo merangkul istrinya penuh kasih. Dikecupnya kening Janet. “Terimakasih sayang, maafkan aku jika kurang memperhatikanmu selama ini” ucap Fredo lembut. **** Telepon genggam milik Fredo bordering ketika ia baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi. “Ada berita bagus bu!” serunya tiba-tiba pada orang yang tengah menghubunginya. “Berita bagus apa do?” “Saat ini Janet sedang mengandung, dan saya sangat bahagia bu!” serunya lewat telepon. Lama tidak terdengar sahutan dari ibunya, entah apa yang tengah dipikirkan wanita paruh baya itu. “Ibu kok diam? Apa ibu tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Fredo penasaran. “Sudahlah do, ibu tidak ingin membahas itu sekarang” ketusnya. ‘Tapi mengapa bu?” “Dari dulu ibu sudah tidak setuju kamu menikah dengan wanita kampung itu”. Teriris hati Fredo mendengar jawaban ibunya. Mengapa ia mengungkit lagi masalalu itu setelah kini ia mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya dari Janet. Wanita tua itu benar-benar sudah rabun mata hatinya. Mengingat soal Janet dia seperti menghadapi musuh bebuyutan. Entah mengapa ia sangat membenci wanita sebaik Janet. Bahkan dulu Fredo harus ekstra keras untuk mendapat restu darinya untuk dapat menikahi Janet. Fredo tidak mau dianggap sebagi anak durhaka, makanya ia berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh restu darinya. Awalnya semua baik-baik saja, ketidaksukaan ibunya pada Janet bisa diatasi. Walau kini, wanita itu kembali mengungkit luka lama itu. “Siapa Fred?” tanya Janet tiba-tiba. Seketika wajah Fredo pucat pasi. “Oh, ibu” jawabnya gugup. “Kok mukanya tegang begitu? Ibu bilang apa?” Janet mulai penasaran. “Ibu hanya menanyakan kabar kita saja” “Mengapa tiba-tiba ibu menanyakan kabar kami? Bukankah selama ini ibu tidak suka denganku?” pikir Janet seketika. Terungkit kembali sewaktu Janet menerima kata-kata kasar dari wanita tua itu. “Saya tidak tau asal-usulmu dan latar belakang keluargamu. Saya heran mengapa anak saya bisa mencintai wanita yang tidak jelas seperti kamu?”. Bahkan ia menanyakan semua hal dari A samapai Z. Latar belakang pendidikan, pekerjaan orangtuanya, sampai-sampai gelar yang dimiliki orangtua Janet. Apakah cinta mengenal itu semua?. Sepertinya tidak. Sekali lagi keteguhan cinta mereka mampu mengatasi kebekuan dihati ibu Fredo. Namun, wanita tua itu belum berhenti sampai disitu. Sebelum Fredo memutuskan untuk pindah dari rumah ibunya, mereka menetap disana selama beberapa minggu. Janet kerap kali diperlakukan seperti upik abu di rumah itu. Belum lagi kalau ibu Fredo dengan sengaja mengundang gadis-gadis putri para kerabatnya. Ia akan blak-blakan membandingkan mereka dengan Janet. Dan tidak jarang membuatnya malu dihadapan gadis-gadis itu. Dimatanya Janet hanya wanita yang tidak memiliki rasa malu karena dengan berani telah mau dinikahi oleh Fredo. Hingga kini, Janet masih menyimpan semua perlakuan ibu mertuanya yang keji itu. Tidak pernah sekalipun ia mencerita hal itu pada suaminya. Sekali lagi, cinta mampu meredamkan semua itu. “Sampai kapan pun keluarga ini tidak akan bisa menerima kamu” tegas ibu Fredo kala itu. Ada rasa malu dihati ibunya ketika Fredo memutuskan gadis dari keluarga sederhana seperti Janet. Maklum, begitulah aturan dalam keluarga ningrat seperti yang dianut keluarga Fredo. Aturan itu tidak mengenal rasa cinta. Yang terpenting tajir, terpandang dan sesuku, sudah cukup memenuhi persyaratan untuk masuk sebagai anggota keluarga yang sah. Akan tetapi bagi Fredo, hal itu adalah pemikiran yang dangkal. Tidak selamanya kekayaan jadi syarat utama dalam hidup ini. Bahkan demi mempertahankan prinsipnya itu, ia rela dihapus dari daftar hak waris ibunya. Memiliki Janet dan bisa hidup dengannya selamanya sudah cukup baginya. “Apa yang sedang kau pikirkan sayang?” tanya Fredo. “Tidak apa-apa Fred” jawab Janet datar. “Jangan terlalu banyak berpikir yang tidak baik, ingat kesehatan kamu dan bayi kita” ujarnya seraya membelai perut Janet yang semakin membuncit dan kemudian menuntunnya masuk. **** Fredo mondar-mandir di koridor rumah sakit. Baru saja ia mengantar Janet kerumah sakit. Sore ini, Janet mengalami pendarahan hebat. Bahkan air ketubannya sudah pecah. Itu tandanya waktu untuk melahirkan telah tiba. Semenjak diperingati dokter kala itu, Fredo tidak pernah absen membawa Janet cek kehamilan ke dokter kandungan. Bahkan ia kerap membaca artikel tentang kehamilan. Rasa was-wasnya seketika terhenti, setelah mendengar tangisan bayi dari ruang persalinan. Wajahnya kembali bersinar. Tanpa aba-aba dan tanpa minta ijin terlebih dahulu, ia menyerbu masuk ke ruang persalinan. Tangisnya tidak lagi terbendung ketika menggendong bayinya. Dirangkulnya erat tubuh Janet seraya mengeluarkan airmata bahagia. Sungguh ia telah menjadi ayah yang paling berbahagia di dunia ini. Wajah bayi itu persis seperti Fredo dan matanya seindah mata Janet. Teduh dan damai. “Terimakasih sayang” ucapnya seraya mendaratkan ciuman di kening Janet. Sementara Janet tidak mampu berkata-kata lagi. Airmatanya terus mengalir tanpa henti. **** “Kamu tidak masuk kerja?” tanya ibunya pada Fredo, ketia ia datang menjenguk Janet untuk yang pertama kalinya. “Saya sudah ambil cuti untuk beberapa hari bu” jawab Fredo. “Pekerja macam apa itu? Ambil cuti lama-lama. Professional dong!” ketus ibunya. “Tidak apa-apa bu. Fredo ingin memperhatikan Janet dulu. Dia kan masih perlu bantuan. Lagi pula, perusahaan bisa mengerti dan memberi ijin pada Fredo bu. Jadi ibu tidak bisa khawatir” jelas Fredo. “Persalinan Janet sudah beberapa hari yang lalu, masa dia tidak bisa ditinggal sendiri? Dulu ibu tidak secengeng dia waktu melahirkan kamu dan kakak-kakak kamu” bantah ibu Fredo tidak puas, diliriknya Janet dengan muka masam. Fredo tidak menjawab apa-apa lagi. Karena urusannya akan semakin panjang kalau ia melayani omongan ibunya. **** Rafael Alfredo adalah nama jagoan kecil Fredo dan Janet. Semakin hari bocah itu semakin bijak saja. Tingkahnya selalu saja menghadirkan keceriaan ditengah keluarga kecil itu. Tak lupa Janet selalu mengajarkan Rafa tatakrama ketika berhadapan dengan orang lain. “Ini nenek Uti, ayo kasih salam” ujar Fredo pada Rafa ketika ibunya datang menjenguk cucunya. Bukannya menyalami, Rafa malah lari sembunyi dibalik punggung ibunya. “Tidak boleh begitu sayang. Ayo kasih salam pada nenek” bujuk Janet. Dengan berat hati, Rafa menyalami tangan neneknya secara spontan. Kemudian sembunyi dibalik punggung ibunya. Tidak pernah Rafa bersikap seperti itu. “Apa engkau mengajarinya untuk membenciku?” sindir ibunya pada Janet. “Apa yang ibu bicarakan? Tidak ada ibu yang mengajari anaknya berbuat yang tidak baik” bantah Fredo mendahului Janet. “Siapa tau saja dia mau balas dendam pada ibu” “Untuk apa aku harus balas dendam pada ibu. Sementara ibu tidak melakukan hal yang buruk terhadapku” jawab Janet. Ia berusaha menutupi semua keburukan mertuanya pada Fredo. Walaupun luka itu masih tersisa hingga kini dihatinya. “Ingat Janet, aku tidak akan membiarkan kau meracuni pikiran cucuku” tegas ibunya. “Kalau ibu datang hanya untuk memojokkan Janet, lebih baik ibu tidak usah berkunjung kesini” bantah Fredo. “Hebat sekali, bahkan engkau telah berhasil menguasai pikiran anakku. Sehingga ia berani mengusir ibu yang telah melahirkannya” “Cukup bu! Sampai kapan ibu berhenti menyalahkan Janet?” “Sampai dia benar-benar keluar dari kehidupan kita” ujarnya seraya bangkit berdiri dan berlalu pergi. Janet hanya menunduk menerima semua pernyataan kasar dari ibu mertuanya. Wajahnya telah dibasahi airmata. “Maafkan semua perlakuan ibu tadi sayang!” ucap Fredo. Dirangkulnya Janet dengan erat. Dan hal itu mengundang perhatian Rafa. Bocah kecil itu tersenyum penuh arti. Ia keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri Janet dan Fredo. **** Semakin lama luka dalam dihati Janet tidak lagi bisa dipendam. Beban pikiran yang selama ini ia emban telah menimbulkan penyhakit baru. Semakin lama tubuhnya semakin lemah. Namun ia selalu berusaha menutupi semua itu dari Fredo. Ia tidak ingin suaminya tau kalau ia tengah menderita. Secara diam-diam ia memberanikan diri memeriksa kesehatannya ke dokter. Hingga pada akhirnya ia divonis mengidap penyakit gagal ginjal oleh dokter yang telah memeriksanya. Awalnya ia selalu berhasil menutupi penyakitnya dari Fredo. Tapi tetap saja pria itu berhasil mencium bau rahasia yang tengah ditutupi Janet. Kecurigaan Fredo berawal ketika pada suatu sore sepulang kerja. Ketika ia hendak mengganti baju kerja dan menemukan secarik kertas hasil lab atas nama istrinya. Dari hasil itu dijelaskan kalau Janet tengah mengidam penyakit gagal ginjal. Jantung Fredo berdetak kencang dan ingin copot rasanya. Dengan langkah seribu ia cepat-cepat mencari Janet. Fredo mendapati Janet tengah asik bermain dengan Rafa di halaman. “Sayang main sendiri dulu ya! Papa sama mama kedalam sebentar” bujuk Fredo sambil mengelus rambut Rafa dengan lembut. “Ada Fred?” tanya Janet curiga. Fredo masih diam dan terus menarik tangan Janet masuk kedalam menjauh dari Rafa. “Tolong jelaskan, apa yang terjadi? Apa maksud dari surat ini?”. Suara Fredo mulai meninggi. Janet hanya terdiam, mulutnya masih terbungkam tidak mampu ia buka. “Maafkan aku Fred. Aku bukannya ingin menutupi penyakitku dari kamu dan Rafa. Aku hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Sampai aku benar-benar siap” ucapnya pilu. Janet bersimpuh di kaki Fredo. “Ternyata kamu tidak sayang padaku dan Rafa. Kamu tega menyembunyikan hal ini dari kami” kata Fredo. Titik-titik airmatanya mulai mengalir. Sementara Janet masih terduduk lemah dikaki Fredo. Lama-kelamaan ia merasa tubuhnya oleng. Janet tidak lagi bisa menahan keseimbangan tubuhnya. Tiba-tiba ia roboh tepat dikaki Fredo. Fredo yang tidak menyadari hal itu masih berdiri tegap memperhatikan suasana diluar sana. Pandangannya terarah jauh entah kemana. “Aku dan Rafa…..” mulutnya terhenti ketika menoleh kearah Janet yang sudah tergeletak lemas di lantai. “Sayang kamu kenapa???” serunya seraya mengguncang tubuh Janet yang telah terkulai lemas di lantai. Tiba-tiba saja otaknya tumpul tidak bisa berpikir apa-apa. Dibopongnya tubuh Janet ke mobil dengan langkah seribu. Sebelum ia pergi, terlebih dahulu dititipnya Rafa kepada tetangga yang selama ini telah berhubungan baik dengan mereka. Fredo tidak lagi menghiraukan rengekan dan tangis dari Rafa. **** “Apalagi yang kamu pikirkan do?. Ceraikan saja Janet” tawar ibunya tanpa memikirkan perasaan Fredo. “Tega sekali ibu bicara seperti itu dengan kondisiku yang seperti sekarang ini. Dimana rasa perikemanusiaan ibu?” balas Fredo kesal. Otak orangtua ini benar-benar sudah sangat keras. Bukannya memberi kekuatan pada putranya, ia malah menawarkan hal yang tidak mungkin Fredo lakukan. Ibunya salah besar jika ia harus membujuknya untuk menikah lagi dengan keadaan Janet seperti ini. “Janji yang telah kuucapkan dihadapan Tuhan, bukan hanya sekedar janji. Janet dan Rafa adalah nyawaku. Mereka adalah nafasku bu! Jadi jangan pernah memaksa Fredo untuk menuruti semua ide konyol ibu itu” tolak Fredo. “Tapi do, apa kamu siap mengurus istri yang penyakitan seperti Janet? Ingat do, seluruh waktu kamu akan terkuras habis untuknya. Pekerjaan kamu akan terbengkalai olehnya” “Cukup bu! Cukup! Ini sudah menjadi kewajibanku sebagai pelindung di keluargaku. Jangankan pekerjaan, nyawaku pun akan kupertaruhkan demi Janet dan Rafa. Ibu puas!!” bentak Fredo keras. Ibunya benar-benar memancing Fredo naik pitam. Tidak ada lagi cara yang dapat wanita itu lakukan sekarang. Jurus-jurus jitunya tidak lagi mampu mengalahkan kekokohan iman Fredo. Pandangannya kembali melayang kearah Janet tengah dirawat. Ingin rasanya Fredo menggantikan posisi Janet berbaring disana. Tak dapat ia bayangkan rasa sakit yang harus ia tanggung demi mempertahankan hidupnya. “Jangan biarkan semua kebahagiaan ini terenggut begitu saja ya Tuhan. Berikan kekuatan pada istri hamba. Jangan biarkan ia menahan rasa sakit begitu lama” pinta Fredo dalam sebait doanya. **** Sekarang Fredo telah mengetahui semua. Diteguhkannya pengharapan akan hadirnya keajaiban demi kesembuhan istri yang sangat dikasihinya. Hampir dua bulan ini Janet mendekam di rumah sakit. Bahkan ia telah melakukan proses cuci darah selama tiga kali. Doa-doa yang terucap lewat bibir orang yang sangat dicintainya telah membuat ia mampu bertahan hingga sejauh ini. Diprediksikan umurnya didunia tinggal menghitung minggu. Tetapi cinta telah menguatkannya hingga lebih dari ramalan para manusia medis itu. “Berjanjilah untuk tidak sedih jika nanti terjadi sesuatu padaku” ucap Janet. Sebulir airmatanya menetes dipipi. “Kita akan tetap bersama disini sayang. Selamanya” kata Fredo. Digenggamnya jemari Janet erat. Sebenarnya ia juga tau kalau hal buruk tengah menghadang Janet di depan. Namun, ketulusan cintanya pada wanita itu menuntutnya untuk tetap kuat. Tetap berdiri kokoh walau sebesar apapun badai yang akan datang menghantam. Ia mencoba membangun kesetiaan dan keteguhan hati setegar karang di laut. Walau sebesar apapun ombak menghempasnya, namun ia tetap mampu berdiri kokoh. “Berikanlah kebahagiaan pada Rafa, anak kita. Jangan biarkan ia sendiri. Dan jangan membiarkan dirimu kesepian. Hadirkan seseorang yang dapat mewarnai rumah kita kembali” “Kumohon, jangan paksa aku untuk memilih cinta yang lain. Semakin engkau memaksa, semakin aku tidak perduli dengan ide konyolmu itu. Berjanjilah untuk tetap disini bersamaku dan Rafa. Jangan biarkan kami kesepian” pinta Fredo pilu. Janet tak kuasa menahan tangis mendengar permintaan iba itu. Dipandangnya langit-langit ruangan itu. Ada maut yang tengah mengintai nyawanya disana. Sembunyi dibalik tirai, mengendap-endap dibawah tempat tidur dan samar-samar menyelinap dibawah bantal. Sungguh pemandangan kasat mata yang mengerikan. **** Baru saja Fredo hendak bergegas meninggalkan rumah dan bersiap ke rumah sakit. Tiba-tiba ada seorang gadis menemuinya. Kalu bisa ditebak, kira-kira wanita itu masih berusia 24 tahun. Bodinya seksi. Ia menggunakan gaun malam berwarna putih dan sedikit transparan. Sementara Fredo masih bingung menyaksikan tingkah wanita itu. Semakin lama ia semakin dekat kearah Fredo. “Mau kemana mas? Kok buru-buru?” ujarnya sambil mendaratkan jemarinya di punggung Fredo. Ia tidak tau darimana wanita itu berasal. Wanita itu berputar mengitari tubuh Fredo yang masih berdiri mematung. “Ada apa ya mbak?” tanya Fredo polos. “Masa sih mas tidak mengerti” ujarnya dengan tatapan menggoda. “Maaf mbak, saya buru-buru, ada hal penting yang harus saya kerjakan. Kalau memang mbak ada perlu sama saya, mbak sebaiknya datang lain kali saja. Jangan sekarang. Karena saya punya urusan penting” cegah Fredo sopan. Akan tetapi, wanita itu semakin menjadi. Ia menarik tangan Fredo. Ia bertambah bingung. Sepertinya ia harus sedikit kasar menghadapi wanita yang tidak dikenalnya itu. Fredo menghempaskan tangannya dari genggaman wanita itu. “Tolong keluar dari rumah saya sekarang. Saya tidak ada waktu untuk melayani anda” “Galak amat sih!” godanya seraya mencolek pipi Fredo. “Tolong jangan paksa saya untuk kasar sama mbak” tegas Fredo kembali. Karena merasa dipermalukan, wanita itu menghindar kemudian pergi dan menghilang dibalik pintu rumah Fredo. Untung saja iman di dada Fredo masih kuat. Sehingga ia masih mampu menahan godaan yang datang secara tak terduga itu. **** Setibanya di rumah sakit, Fredo bergegas menuju ruangan tempat Janet dirawat. Ditengah jalan ia dikagetkan oleh pemandangan yang benar-benar aneh dimatanya. Ia mengucek mata untuk meyakinkan pandangannya. Fredo tengah menyaksikan ibunya tengah berbincang-bincang dengan seorang wanita. Dialah wanita yang masuk kerumahnya barusan. Ibu Fredo dan wanita itu terlihat sangat akrab layaknya sahabat dekat. Lama Fredo memperhatikan tingkah mereka. Hingga tak sadar ia kepergok oleh ibunya. Tak ingin berurusan dengan mereka, Fredo buru-buru pergi. Fredo mendapati Rafa tengah tertidur pulas sambil merangkul tangan ibunya. Fredo terharu menyaksikan pemandangan itu. Airmatanya kembali menetes perlahan. Ia mendekat kearah mereka dan memeluknya. Tiba-tiba Fredo tersadar, ada yang aneh dengan tubuh Janet. Kini, tubuhnya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Berbeda dengan tubuh Rafa yang masih hangat. Rafa terbangun, wajahnya terlihat lusuh. Sementara Fredo masih terdiam, dipeluknya Rafa dengan erat. Fredo meletakkan jarinya di hidung dan di urat nadi Janet. Tak ada getaran sedikit pun. “Sayang!” ucapnya. Pertama-tama pelan, tapi semakin lama semakin keras. Namun tak ada respon dari Janet. Teriakan Fredo mengundang perhatian seisi rumah sakit. Dokter bersama beberapa suster dengan cepat memasuki ruangan dan menyuruh orang-orang yang telah memenuhi ruangan untuk keluar. Tubuh Janet telah terbujur kaku. Ia tidak bernyawa lagi. Fredo yang sedari tadi masih bisa kuat, kini tidak lagi mampu untuk berdiri. Tubuhnya roboh disamping Janet yang tidak lagi bergerak. Seolah mengerti, Rafa ikut merengek disamping tubuh ayahnya yang telah roboh di lantai. Bocah itu menangis sejadi-jadinya, tidak ada yang bisa membujuknya. Ruangan itu kini berselimutkan duka. Isakan, raungan dan ratapan yang sangat pilu terdengar dimana-mana. Indah adalah kata awal dalam memulai cerita cinta,hingga pada akhirnya para pecinta harus dihadapkan pada dua situasi yang berbeda. Ada yang diakhiri dengan bahagia maka beruntunglah pecinta. Akan tetapi ada juga yang diakhiri dengan duka, dan inilah yang tidak bisa diterima para pecinta. Karena demikianlah cinta, tidak pernah permisi ketika ia datang dan tidak pernah pamit ketika ia pergi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar