13
Maret
Dari sekian banyak lelaki, aku adalah salah
satu yang kurang berani memgungkapkan cinta.Takut ditolak, takut menghadapi
masalah dikemudian hari. Oleh karena itulah , kalau selama ini aku selalu
menjadi bahan ejekan dan tertawaan ketika berada diantara teman-temanku. Ada
perasaan minder dan kurang percaya diri disaat berhadapan dengan wanita.
Hingga suatu malam....
Ketika baru pulang
kerja, kurebahkan tubuhku diruangan kecil di sudut kamarku. Letih , penat dan
lelah menggerogoti seluruh tubuh. Belum lagi mataku bisa terpejam. Pikiranku
berkelana diantara langit-langit kamarku. Ada perasaan aneh yang mengganjal
tiba-tiba. Muncul rasa rindu pada seseorang. Rasa itu muncul tanpa kurencanakan
terlebih dahulu dalam benakku. Rasa itu sungguh menyiksa. Dan kurasakan separuh
dari enegiku terkuras untuknya. Ditengah pikiranku yang lagi kacau, ponsel yang
sedari tadi menyaksikan kegalauanku berdering. Nadanya menyita perhatianku
untuk melirik nama siapa yang tertera di layar telepon genggam itu.
1 pesan dari Bianka.
“ Joe udah tidur?” isi
pesan itu singkat. Entah datang darimana, ada perasaan lega dalam hatiku.
Pikiranku yang sedari tadi sedang berkecamukberubah damai seketika. “ Belum,
aku baru pulang kerja” balasku. Bianka adalah sahabatku. Dua tahun yang lalu
aku mengenalnya ketika ia masih mengenakan putih abu-abu. Aku dan dia sudah
seperti saudara kandung. Bian, begitu aku memanggilnya. Tidak pernah ada
rahasia diantara kami. Disetiap pertemuan baik secara langsung atau melalui
telepon, pasti ada bahan permbicaraan yang hendak dibahas. Tak sedikit pun ada
ruang sepi disetiap obrolan kami.
“ Jam segini baru
pulang kerja?” tanya Bian heran.
“ Biasalah anak
kesayangan bos, dikasih banyak lembur biar nanti dompetnya gemuk” jawabku
ringan. Kata-kata itu begitu renyah keluar dari mulutku, ketika aku tak
menyangka balasan yang datang dari Bianka.
“ Tidak apa-apa, jadi
jika kelak kamu mau menikah kamu tidak akan susah memikirkan dana” jawab Bianka
nylonong. Entah apa kaitannya lembur dengan menikah. Jantungku mulai berdetak
tak karuan. Berlari melebihi kapasitas yang wajar. “ Hahahaha!!!! Boro-boro
mikirin nikah, pacar aja aku belom punya” ucapku geli pada Bian. Lama aku
menunggu balasan selanjutnya dari Bian. “ Cinta dan jodoh itu misteri Jo, bisa
saja sekarang kamu belum menemukannya. Besok atau lusa ia akan menghampirimu
disaat yang tak terduga. Bahkan memaksamu untuk siap walaupun sejujurnya kamu
belum siap” kali ini Bian berlagak seperti penasehat cinta yang sebenarnya.
Wejangannya begitu dewasa. Hampir aku lupa jika saat ini Bian baru berusia 18
tahun. Tanpa pikir panjang kubalas pesan singkat dari Bian. “ Bagaimana jika
kelak kita yang berjodoh? Apakah kau siap menerima kenyataan?” kata-kata itu
begitu mulus mendarat di bibirku. Aku tidak tau apa dasarku mengungkapkan hal
itu. “ Jika kita sudah ditakdirkan untuk berjodoh, mengapa tidak?” balasnya
kemudian. Ada sedikit nada bercanda dari balasan Bian. Aku tau dia tidak
serius.
“ Aku serius! “
“ Aku juga ;)”. Senyum
menepi dibibirku membaca balasan pesan singkat dari Bian. Kurapikan kepingan
hati yang hampir berantakan oleh lelucon Bian. Kusadari jika semua itu hanyalah
sebuah kata-kata jenaka yang Bian ucapkan untuk menenangkan kegalauan hatiku.
Kutepis harapan dalam benakku yang hampir membesar oleh sinar pencerahan dari
balasan pesan singkat sahabatku itu. Entah mengapa, rasa aneh muncul tiba-tiba
dikepalaku. Mengingat Bian, sama seperti melihat bunga Sakura mekar ketika
musim semi tiba. Indah.
****
Berawal
dari pecakapan panjang malam itu. Kini, saling memberi kabar lewat pesan
singkat seolah menjadi kewajiban bagiku dan Bian. Setiap obrolan selalu
diwarnai keceriaan. Hingga akhirnya kuputuskan jika hatiku kini semakin nyaman
ketika bercengkrama dengan gadis jangkung itu. Bahkan setiap akhir minggu, seperti
menjadi satu tanggung jawab untuk selalu mengunjunginya. Kesendirian Bian
membuatku leluasa mengajak dia pergi kemanapun. Mungkin ia juga merasa hal yang
sama denganku. Semoga saja. Akan tetapi, hingga kini aku belum juga mampu
mengungkapkan perasaanku padanya. Melihatnya nyaman bersamaku, terbahak
bersamaku sudah cukup membuatku puas. Untuk saat ini aku tidak ingin
mengacaukan kebahagiaan yang terpancar di wajah gadis itu.
****
“ Bian!” ucapku lembut
seraya menarik jemari Bian. Wajahnya kini terlihat pucat pasi. Mendung seperti
langit sore yang akan menjelang malam sebentar lagi. Ia tidak berani menatapku.
Sesekali ia menyematkan senyum malu-malu dibibirnya. Kuanggap itu sebagai
perasaan yang sama seperti yang sedang kualami saat ini. Ia belum berani menatapku.
“ Cinta kini sedang
berlabuh di dermaga hatiku. Setelah lama aku terpikir, dan kurasa tambatannya
kini ada padamu. Bersediakah kamu jika cintaku tertambat di hatimu?”
kucari-cari kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan jatuh cintaku. Kuakui,
kini dimataku Bian sudah lebih dari sahabat biasa bagiku. Tetapi lebih kepada
sahabat istimewa yang sebentar lagi akan menghuni hatiku. Munggkin.
“ Apa maksudmu?” Bian
seolah tak mengerti. Pandangannya jauh menelusuri langit sore yang sudah
berubah kuning. “ Bukankah selama ini persahabatan diantara kita tidak pernah
menemui masalah?” suaranya meningkat satu oktav. Ia sedikit bergeser menjauh
dariku. Tidak lagi kuhiraukan apa yang tengah dipikirkan oleh Bian. Kali ini
aku harus sedikit lebih egois demi menyelamatkan perasaanku. “Kemarin, kamu
yang bilang. Cinta itu adalah rahasia. Tidak pernah datang dengan memberitahu
terlebih dahulu. Bukankah kita harus selalu siap dengan kedatangannya?”
jelasku. Mulut Bian masih terkunci rapat. Tergambar diwajahnya ada rahasia
besar yang tidak kuketahui yang tengah ia sembunyikan. “ Joe, bisakah kau
memberiku waktu untuk berpikir? Setidaknya kasih aku waktu satu bulan untuk
merenung” pintanya. Permintaan Bian semakin aneh. Haruskah membutuhkan waktu
satu bulan lamanya untuk memutuskan perasaan cinta?. Apa arti kedekatan dan
kenyamanan yang ia rasakan selama ini? Apakah itu belum cukup?. Kali ini aku
masih bisa menggunakan otakku secara tepat. Kukendalikan emosiku yang hampir
saja meletup sampai ke ubun-ubun. “ Untuk satu bulan kedepan, kuharap kita
tidak bertemu dulu” lanjutnya kemudian. Bagai ditampar secara tiba-tiba rasanya
wajahku mendengar permintaan Bian. Semakin aneh. Walau pada akhirnya kuterima
semua permintaan itu dengan sangat berat.
****
Satu
bulan bukan waktu yang singkat bagiku untuk tidak bertemu dengan Bian.
Kupandangi persimpangan kearah rumah Bian setiap kali aku melewatinya ke
tempatku bekerja. Berharap bisa melihatnya disana. Tersenyum dan melambaikan
tangan ketika ia melihatku. Namun tidak pernah sekalipun aku mendapati hal itu.
Yang ada hanya hiruk-pikuk kendaraan dan debu yang sesekali ikut menari
menyemarakkan kesibukan di persimpangan itu. Penantian ternyata sungguh
menyiksa. Salahkah jika aku mengunggkapkan perasaanku yang sebenarnya pada
gadis itu? Seharusnya ada kebanggan tersendiri dalam diriku. Karena aku telah
berhasil mengalahkan rasa kurang percaya diriku.
Sesekali
kusibukkan diri dengan mengambil kerja lembur berjam-jam. Semua kulakukan untuk
mempersingkat waktu. Beralih dari ingatan akan wajah ayu Bianka yang selalu
menyita konsentrasiku. Atau bahkan keluar mencari udara segar bersama
teman-temanku.
****
13 Maret...
Tepat satu bulan, Bian memutuskan komunikasi denganku.
Hari ini adalah hari yang akan mengukir sejarah dalam hidupku. Dalam lautan
yang berombak besar aku telah menanti. Dihempaskan oleh badai dan sesekali
tersandung oleh karang. Tak urung kudapati luka dalam perjalananku hingga pada
akhirnya tiba disaat ini. Yang ingin sekali kulihat untuk pertama kalinya
adalah senyum Bian melebar di bibirnya dan kemudian ia berkata “ aku bersedia
menjadi labuhan, dan menambatkan cintamu di dermaga hatiku”. Dan saat itu pula
musik mengalun lembut, terhanyut membawa hati kami yang tengah diselimuti rasa
indah yang terbatas.
“ Jam 04:00 sore ini di tempat biasa ya!”. Telepon
genggamku berdering membawa pesan dari Bianka. Tak berhenti bibirku tersenyum
dan sesekali bersiul mengicaukan kegembiraanku.
****
04:00 WIB, Taman
kota...
Langkah kakiku semakin cepat menuju tempat yang telah
ditunjukkan oleh Bian. Hembusan angin sore begitu dingin, sekalipun mentari
masih tersenyum dibalik awan yang sedikit menghitam. Taman kota adalah tempat
terakhir kalinya aku bertemu dengan Bian. Disana kami sering melepas tawa.
Berlari berkejaran seperti anak kecil. Taman ini memiliki cerita istimewa bagi
kami. Di pojok kursi panjang, aku melihat seorang gadis duduk. Dan kuyakini ia
adalah gadis yang ingin sekali kutemui hari ini. Gadis yang ingin kucubit
pipinya dan gadis yang ingin kupeluk erat untuk menghalau dinginnya udara sore.
Anehnya, Bian tidak sendiri. Ada sosok lain yang menemaninya. Kutepis rasa
takut dan pikiran negatif yang muncul tiba-tiba dalam pikiranku.
“ Hai Bian!” seruku
setelah hampir dekat dengan posisi tempat duduknya.
“ Hei Joe! Apa kabar?”
sahutnya berbasa-basi. Satu bulan tidak bertemu, Bian terlihat kurus. Badannya
yang dulu jangkung berisi, kini berubah kurus dan langsing. Tapi aku tak ingin
membahas hal itu. Aku ingin langsung pada pembicaraan yang sesungguhnya. Bicara
tentang hati. Akan tetapi bagaimana bisa aku langsung nyimprung. Nylonong masuk
ke topik utama, sementara ada orang lain disana.
“ Bian, bukankah
seharusnya....”
“ Iya, tapi kini kini
aku tidak sendiri lagi” kata Bian memotong pembicaraanku. Sepertinya ia sudah
mengerti arah pembicaraanku. Itu
artinya, tebakanku salah. Tidak ada harapan indah yang akan kudapati sore ini.
Bagai ditelan gelap rasanya badanku kini.
“ Perkenalkan dia
adalah Hendrik, tunanganku” ungkap Bian tegas. Kali ini bukan hanya ditampari
secara tiba-tiba lagi yang kurasakan. Tapi lebih parah dari itu. Pria disebelah
Bian mengulurkan tangan kearahku kusambut dengan hangat sekalipun sekujur
tubuhku sudah dingin dan kaku rasanya. Tidak perlu kupertanyakan lagi, mengapa
Bian tega melakukan ini padaku. Ia membiarkan aku menunggu dalam cemas,
berharap dalam gelisah tapi pada akhirnya melumpuhkanku secara tak terduga.
Karena semua sudah terjawab. Tidak ada harapan. Tidak ada tempat kosong untuk
berlabuh di dermaga hatinya. Gelap sebentar lagi akan menghampiri. Dan angin
malam semakin menusuk, menyelinap masuk lewat pori. Disaat itu pula perih
perlahan menghampiriku menggoreskan sedikit luka yang belum kutemukan obatnya.
Hatiku masih sempat merangkai sebuah sajak perih. Menciptakan lirik pedih yang
kini bermukin dalam jiwa.
_Menanti_
Hari penuh dengan harap
Dihinggapi oleh cemas
di taman hati
Pagi berpikir keras
Malam meyakinkan diri
Dengan gemetar akan
perih.
Kepingan hati yang
tengah berantakan
Kubangun kembali dengan
dasar harapan
Karena janji tak
mungkin teringkari, pikirku.
Tersadar aku kembali
jika cinta tak selamanya bisa memiliki. Selama apa pun aku mampu bertahan, menanti
dengan perjuangan yang melelahkan.
Huufftt cinta...