Senin, 05 Agustus 2013

13 maret, kurelakan cinta pergi ketika aku sadar tidak bisa memilikinya


13 Maret
  Dari sekian banyak lelaki, aku adalah salah satu yang kurang berani memgungkapkan cinta.Takut ditolak, takut menghadapi masalah dikemudian hari. Oleh karena itulah , kalau selama ini aku selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan ketika berada diantara teman-temanku. Ada perasaan minder dan kurang percaya diri disaat berhadapan dengan wanita.
Hingga suatu malam....
Ketika baru pulang kerja, kurebahkan tubuhku diruangan kecil di sudut kamarku. Letih , penat dan lelah menggerogoti seluruh tubuh. Belum lagi mataku bisa terpejam. Pikiranku berkelana diantara langit-langit kamarku. Ada perasaan aneh yang mengganjal tiba-tiba. Muncul rasa rindu pada seseorang. Rasa itu muncul tanpa kurencanakan terlebih dahulu dalam benakku. Rasa itu sungguh menyiksa. Dan kurasakan separuh dari enegiku terkuras untuknya. Ditengah pikiranku yang lagi kacau, ponsel yang sedari tadi menyaksikan kegalauanku berdering. Nadanya menyita perhatianku untuk melirik nama siapa yang tertera di layar telepon genggam itu.
1 pesan dari Bianka.
“ Joe udah tidur?” isi pesan itu singkat. Entah datang darimana, ada perasaan lega dalam hatiku. Pikiranku yang sedari tadi sedang berkecamukberubah damai seketika. “ Belum, aku baru pulang kerja” balasku. Bianka adalah sahabatku. Dua tahun yang lalu aku mengenalnya ketika ia masih mengenakan putih abu-abu. Aku dan dia sudah seperti saudara kandung. Bian, begitu aku memanggilnya. Tidak pernah ada rahasia diantara kami. Disetiap pertemuan baik secara langsung atau melalui telepon, pasti ada bahan permbicaraan yang hendak dibahas. Tak sedikit pun ada ruang sepi disetiap obrolan kami.
“ Jam segini baru pulang kerja?” tanya Bian heran.
“ Biasalah anak kesayangan bos, dikasih banyak lembur biar nanti dompetnya gemuk” jawabku ringan. Kata-kata itu begitu renyah keluar dari mulutku, ketika aku tak menyangka balasan yang datang dari Bianka.
“ Tidak apa-apa, jadi jika kelak kamu mau menikah kamu tidak akan susah memikirkan dana” jawab Bianka nylonong. Entah apa kaitannya lembur dengan menikah. Jantungku mulai berdetak tak karuan. Berlari melebihi kapasitas yang wajar. “ Hahahaha!!!! Boro-boro mikirin nikah, pacar aja aku belom punya” ucapku geli pada Bian. Lama aku menunggu balasan selanjutnya dari Bian. “ Cinta dan jodoh itu misteri Jo, bisa saja sekarang kamu belum menemukannya. Besok atau lusa ia akan menghampirimu disaat yang tak terduga. Bahkan memaksamu untuk siap walaupun sejujurnya kamu belum siap” kali ini Bian berlagak seperti penasehat cinta yang sebenarnya. Wejangannya begitu dewasa. Hampir aku lupa jika saat ini Bian baru berusia 18 tahun. Tanpa pikir panjang kubalas pesan singkat dari Bian. “ Bagaimana jika kelak kita yang berjodoh? Apakah kau siap menerima kenyataan?” kata-kata itu begitu mulus mendarat di bibirku. Aku tidak tau apa dasarku mengungkapkan hal itu. “ Jika kita sudah ditakdirkan untuk berjodoh, mengapa tidak?” balasnya kemudian. Ada sedikit nada bercanda dari balasan Bian. Aku tau dia tidak serius.
“ Aku serius! “
“ Aku juga ;)”. Senyum menepi dibibirku membaca balasan pesan singkat dari Bian. Kurapikan kepingan hati yang hampir berantakan oleh lelucon Bian. Kusadari jika semua itu hanyalah sebuah kata-kata jenaka yang Bian ucapkan untuk menenangkan kegalauan hatiku. Kutepis harapan dalam benakku yang hampir membesar oleh sinar pencerahan dari balasan pesan singkat sahabatku itu. Entah mengapa, rasa aneh muncul tiba-tiba dikepalaku. Mengingat Bian, sama seperti melihat bunga Sakura mekar ketika musim semi tiba. Indah.
****
Berawal dari pecakapan panjang malam itu. Kini, saling memberi kabar lewat pesan singkat seolah menjadi kewajiban bagiku dan Bian. Setiap obrolan selalu diwarnai keceriaan. Hingga akhirnya kuputuskan jika hatiku kini semakin nyaman ketika bercengkrama dengan gadis jangkung itu. Bahkan setiap akhir minggu, seperti menjadi satu tanggung jawab untuk selalu mengunjunginya. Kesendirian Bian membuatku leluasa mengajak dia pergi kemanapun. Mungkin ia juga merasa hal yang sama denganku. Semoga saja. Akan tetapi, hingga kini aku belum juga mampu mengungkapkan perasaanku padanya. Melihatnya nyaman bersamaku, terbahak bersamaku sudah cukup membuatku puas. Untuk saat ini aku tidak ingin mengacaukan kebahagiaan yang terpancar di wajah gadis itu.
****
“ Bian!” ucapku lembut seraya menarik jemari Bian. Wajahnya kini terlihat pucat pasi. Mendung seperti langit sore yang akan menjelang malam sebentar lagi. Ia tidak berani menatapku. Sesekali ia menyematkan senyum malu-malu dibibirnya. Kuanggap itu sebagai perasaan yang sama seperti yang sedang kualami saat ini. Ia belum berani menatapku.
“ Cinta kini sedang berlabuh di dermaga hatiku. Setelah lama aku terpikir, dan kurasa tambatannya kini ada padamu. Bersediakah kamu jika cintaku tertambat di hatimu?” kucari-cari kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan jatuh cintaku. Kuakui, kini dimataku Bian sudah lebih dari sahabat biasa bagiku. Tetapi lebih kepada sahabat istimewa yang sebentar lagi akan menghuni hatiku. Munggkin.
“ Apa maksudmu?” Bian seolah tak mengerti. Pandangannya jauh menelusuri langit sore yang sudah berubah kuning. “ Bukankah selama ini persahabatan diantara kita tidak pernah menemui masalah?” suaranya meningkat satu oktav. Ia sedikit bergeser menjauh dariku. Tidak lagi kuhiraukan apa yang tengah dipikirkan oleh Bian. Kali ini aku harus sedikit lebih egois demi menyelamatkan perasaanku. “Kemarin, kamu yang bilang. Cinta itu adalah rahasia. Tidak pernah datang dengan memberitahu terlebih dahulu. Bukankah kita harus selalu siap dengan kedatangannya?” jelasku. Mulut Bian masih terkunci rapat. Tergambar diwajahnya ada rahasia besar yang tidak kuketahui yang tengah ia sembunyikan. “ Joe, bisakah kau memberiku waktu untuk berpikir? Setidaknya kasih aku waktu satu bulan untuk merenung” pintanya. Permintaan Bian semakin aneh. Haruskah membutuhkan waktu satu bulan lamanya untuk memutuskan perasaan cinta?. Apa arti kedekatan dan kenyamanan yang ia rasakan selama ini? Apakah itu belum cukup?. Kali ini aku masih bisa menggunakan otakku secara tepat. Kukendalikan emosiku yang hampir saja meletup sampai ke ubun-ubun. “ Untuk satu bulan kedepan, kuharap kita tidak bertemu dulu” lanjutnya kemudian. Bagai ditampar secara tiba-tiba rasanya wajahku mendengar permintaan Bian. Semakin aneh. Walau pada akhirnya kuterima semua permintaan itu dengan sangat berat.
****
Satu bulan bukan waktu yang singkat bagiku untuk tidak bertemu dengan Bian. Kupandangi persimpangan kearah rumah Bian setiap kali aku melewatinya ke tempatku bekerja. Berharap bisa melihatnya disana. Tersenyum dan melambaikan tangan ketika ia melihatku. Namun tidak pernah sekalipun aku mendapati hal itu. Yang ada hanya hiruk-pikuk kendaraan dan debu yang sesekali ikut menari menyemarakkan kesibukan di persimpangan itu. Penantian ternyata sungguh menyiksa. Salahkah jika aku mengunggkapkan perasaanku yang sebenarnya pada gadis itu? Seharusnya ada kebanggan tersendiri dalam diriku. Karena aku telah berhasil mengalahkan rasa kurang percaya diriku.
Sesekali kusibukkan diri dengan mengambil kerja lembur berjam-jam. Semua kulakukan untuk mempersingkat waktu. Beralih dari ingatan akan wajah ayu Bianka yang selalu menyita konsentrasiku. Atau bahkan keluar mencari udara segar bersama teman-temanku.
****
13 Maret...
            Tepat satu bulan, Bian memutuskan komunikasi denganku. Hari ini adalah hari yang akan mengukir sejarah dalam hidupku. Dalam lautan yang berombak besar aku telah menanti. Dihempaskan oleh badai dan sesekali tersandung oleh karang. Tak urung kudapati luka dalam perjalananku hingga pada akhirnya tiba disaat ini. Yang ingin sekali kulihat untuk pertama kalinya adalah senyum Bian melebar di bibirnya dan kemudian ia berkata “ aku bersedia menjadi labuhan, dan menambatkan cintamu di dermaga hatiku”. Dan saat itu pula musik mengalun lembut, terhanyut membawa hati kami yang tengah diselimuti rasa indah yang terbatas.
            “ Jam 04:00 sore ini di tempat biasa ya!”. Telepon genggamku berdering membawa pesan dari Bianka. Tak berhenti bibirku tersenyum dan sesekali bersiul mengicaukan kegembiraanku.
****
04:00 WIB, Taman kota...
            Langkah kakiku semakin cepat menuju tempat yang telah ditunjukkan oleh Bian. Hembusan angin sore begitu dingin, sekalipun mentari masih tersenyum dibalik awan yang sedikit menghitam. Taman kota adalah tempat terakhir kalinya aku bertemu dengan Bian. Disana kami sering melepas tawa. Berlari berkejaran seperti anak kecil. Taman ini memiliki cerita istimewa bagi kami. Di pojok kursi panjang, aku melihat seorang gadis duduk. Dan kuyakini ia adalah gadis yang ingin sekali kutemui hari ini. Gadis yang ingin kucubit pipinya dan gadis yang ingin kupeluk erat untuk menghalau dinginnya udara sore. Anehnya, Bian tidak sendiri. Ada sosok lain yang menemaninya. Kutepis rasa takut dan pikiran negatif yang muncul tiba-tiba dalam pikiranku.
“ Hai Bian!” seruku setelah hampir dekat dengan posisi tempat duduknya.
“ Hei Joe! Apa kabar?” sahutnya berbasa-basi. Satu bulan tidak bertemu, Bian terlihat kurus. Badannya yang dulu jangkung berisi, kini berubah kurus dan langsing. Tapi aku tak ingin membahas hal itu. Aku ingin langsung pada pembicaraan yang sesungguhnya. Bicara tentang hati. Akan tetapi bagaimana bisa aku langsung nyimprung. Nylonong masuk ke topik utama, sementara ada orang lain disana.
“ Bian, bukankah seharusnya....”
“ Iya, tapi kini kini aku tidak sendiri lagi” kata Bian memotong pembicaraanku. Sepertinya ia sudah mengerti arah pembicaraanku.  Itu artinya, tebakanku salah. Tidak ada harapan indah yang akan kudapati sore ini. Bagai ditelan gelap rasanya badanku kini.
“ Perkenalkan dia adalah Hendrik, tunanganku” ungkap Bian tegas. Kali ini bukan hanya ditampari secara tiba-tiba lagi yang kurasakan. Tapi lebih parah dari itu. Pria disebelah Bian mengulurkan tangan kearahku kusambut dengan hangat sekalipun sekujur tubuhku sudah dingin dan kaku rasanya. Tidak perlu kupertanyakan lagi, mengapa Bian tega melakukan ini padaku. Ia membiarkan aku menunggu dalam cemas, berharap dalam gelisah tapi pada akhirnya melumpuhkanku secara tak terduga. Karena semua sudah terjawab. Tidak ada harapan. Tidak ada tempat kosong untuk berlabuh di dermaga hatinya. Gelap sebentar lagi akan menghampiri. Dan angin malam semakin menusuk, menyelinap masuk lewat pori. Disaat itu pula perih perlahan menghampiriku menggoreskan sedikit luka yang belum kutemukan obatnya. Hatiku masih sempat merangkai sebuah sajak perih. Menciptakan lirik pedih yang kini bermukin dalam jiwa.
           
_Menanti_
Hari penuh dengan harap
Dihinggapi oleh cemas di taman hati
Pagi berpikir keras
Malam meyakinkan diri
Dengan gemetar akan perih.
Kepingan hati yang tengah berantakan
Kubangun kembali dengan dasar harapan
Karena janji tak mungkin teringkari, pikirku.

Tersadar aku kembali jika cinta tak selamanya bisa memiliki. Selama apa pun aku mampu bertahan, menanti dengan perjuangan yang melelahkan.
Huufftt cinta...