Minggu, 27 Oktober 2013

( CERPEN ) Kuikhlaskan dia pergi.....

   Masih terlihat sisa-sisa hujan menetes dari atap rumah yang kulewati menuju bandara Sultan Sarif Qhasim II. Baru beberapa bulan yang lalu aku mengantar kakaku untuk menjalani terapi di Jakarta. Tapi kemarin malam, aku mendapat kabar yang membuat perasaanku sungguh tidak tenang.

  Perasaan kehilangan itu terus menguak dalam pikiranku. Tidak dapat kupungkiri, setelah sekian lama kak Laela mengidam penyakit ini mungkin akan ada titik dimana ia harus berhenti. Apa? berhenti ? Bukan itu maksudku. Lebih kepada lelah. Bahkan ia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil di kotaku setelah penyakit itu menggerogoti tubuhnya

  Kubuang jauh-jauh pikiran kotor yang sedari tadi berusaha memecahkan konsentrasi dalam pikiranku. yang selalu menggoyahkan keyakinanku akan adanya sebuah mukjizat yang akan terjadi pada kak Laela.
" Tuhan, jangan biarkan akun tenggelam dalam bayang-bayang ketakutan" batinku.
Kuhaturkan sebait demi sebait doa permohonan dalam hati. Cukup sudah airmata yang selama ini telah tertumpah dari mataku.Cukup sudah penderitaan yang diemban oleh kakakku selama ini. Hanya kata-kata itu yang sedari tadi kuulangi dalam doaku. Terlintas ekspresi rasa sakit di wajah kak Lela dalam benakku. Sungguh tidak tahan melihatnya. aku berusaha menepisnya dan beralih pada pemandangan diluar sana yang mungkin dapat mengalihkan ilusi menyakitkan itu.

  Sebagai orang yang lebih dekat dengannya, aku adalah orang yang selalu repot ketika penyakit itu mulai kambuh. Membawanya bolak-balik terapi sampai merawatnya ketika ia sedang berada di rumah. Rutinitasku sebagai seorang freelancer tidak menghambat hal ini. Bahkan aku rela menolak berbagai pekerjaan yang datang ketika aku mengantarnya untuk menjalani pengobatan yang lebih intensif di Jakarta. Dan menemaninya beberapa bulan sebelum aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku. Ada rasa tidak tega ketika aku pulang, dan menitipkan kak Laela pada sepupuku.
" Pulanglah, kakak disini pasti baik-baik saja" ucapnya meyakinkanku. Seulas senyum menghiasi bibirnya. Dan senyum itulah yang meyakinkanku, yangseolah memberi kekuatan untuk meninggalkannya seorang diri di kota sebesar Jakarta.

  " Kita sudah sampai di bandara pak!" seru sopir taksi yang sedari tadi kutumpangi hingga bandara Sultan Sarif Qhasim II Pekanbaru. Ada sorot iba dalam pandangan si sopir taksi terhadapku.Namun, seulas senyum kubalas pada tatapan itu yang menekankan jika aku baik-baik saja, walau hatiku sedang meringis menahan rasa takut. Takut kehilangan.
"Semoga perjalanannya menyenangkan pak! dan terimakasih sudah menggunakan jasa angkutan kami" ucap si sopir taksi ramah. Terlihat barisan gigi putih menyembul lewat senyum itu. Seolah menambah pesona kumisnya yang di potong rapi.

  Setelah mendapat informasi, ternyata jadwal penerbangan mengalami delay selama satu jam. Itu artinya aku harus menunggu.Aku terduduk di ruang tunggu sambil menikmati pemandangan bandara yang super sibuk. Mataku bisa saja berada disini. Namun jujur, pikiranku masih terpusat pada ka Laela yang tengah menungguku sambil menahan rasa sakit yang tidak dapat kubayangkan.

                                                                      ****

  Entah sudah berapa lama perjalananku dari Pekanbaru hingga sampai disini. Yang aku tahu, saat ini aku telah berada di depan rumah sakit yang berada di daerah Slippi , Jakarta Barat. hanya itu yang kutahu. Dengan berat kulangkahkan kaki menuju ruang ruang Melati di Lantai 4. Mataku tidak terlepas dari orang-orang yang tengah memperjuangkan nyawa di rumah sakit itu. Dan semakin ngeri lagi ketika melihat ruang-ruang gawat darurat yang dilengkapi dengan berbagai peralatan medis yang meanakutkan.

  Senyum pun menghiasi bibir ka Laela ketika melihatku berdiri di depan pintu. Namun, senyum itu tidak seindah dulu. Ada makna yang tidak dapat kutebak dalam didalamnya.
"Bagaimana keadaan kakak?" tanyaku. Tidak sepatah katapun yang mampu ia ucapkan selain tersenyum. Dan perlahan sebening airmata menetes di pipinya. Aku tidak memaksa dia untuk bercerita lebih banyak. Aku mencoba menetralkan detak jantung yang semakin tidak beraturan. Mengucap doa-doa permohonan semoga dia baik-baik saja. Hanya itu.
" Rumah terasa sepi tanpa kakak!" ucapku berbasa-basi. Ada harapan dalam kata-kata itu. Harapan supaya ia berjuang dan setelah itu kami akan pulang. Berkumpul kembali dengan sanak-saudara di kota kelahiranku. Bukan jawaban yang kuterima, hanya airmata yang terus menerus mengalir dari pelupuk matanya yang sayu. Semakin lama semakin deras. Kuusap airmata itu dan kubelai rambut kakakku lembut. Dan perlahan kupeluk erat tubuhnya yang semakin hari semakin mengurus. Hingga ia tertidur. Lelap bersama senja Jakarta yang cerah. Dibawah mega-mega merah itu, bibirku tidak berhenti merapal bait-bait doa. Hanya untuk dia, ka Laela.

                                                                     ****

  Kesejukan mega di langit sore ini telah mengantarku ke tidur yang lelap. Rasa lelah yang kurasakan dalam perjalanan ke Jakarta mengharuskan badanku untuk istirahat. Hingga aku terbangun, dan kulirik arloji yang menempel di jemariku. Owh! ini ternyata sudah pukul tiga dini hari. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku teringat apa tujuanku disini. Aku teringat seseorang yang akan kutemui disini. Dan ternyata telah berada tertidur pulas disebelahku. Kubelai rambut kak Laela untuk yang kesekian kalinya. Dan kucium keningnya. Aku merasakan keanehan seketika. Sewaktu bibirku mendarat dikeningnya tidak terasa desahan nafasnya lagi.
" Kak Laela!" bisikku pelan. tidak ada respon sedikit pun. Dan semakin lama semakin kuat kugetarkan tubuhnya. tetap tidak ada reaksi. Seketika saja, airmataku menetes perlahan. Dan aku menangis sejadi-jadinya.Aku tidak perduli lagi dengan semua orang yang berada dalam ruangan itu. Dan kemudian dokter bersama beberapa perawat memasuki ruangan dan memeriksa keadaan kak Laela. Kemudian dokter menatapku iba tanpa berkata apa pun. Ia membiarkanku meraung sesaat.
" Ikhlaskan kepergiannya nak!" pintanya seraya mengelus pundakku.

                                                                   ****
   Untuk kesekian kalinya, aku harus mengecap pahit dan pedihnya kehilangan itu. Awalnya rasa ikhlas itu begitu sulit untuk kuberikan. Namun, kembali lagi kugunakan akal sehatku. Bukankah segala sesuatu yang berasal dari Yang Empunya Kuasa, akan kembali lagi padaNYA?
 
  Setelah ini, aku akan pulang. memasuki ruangan gelap yang sungguh tidak kusuka selama ini. Hanya tangis yang akan kubiarkan mengalir disana. Ruangan itu seolah menyimpan banyak cerita. Untuk kemudian mempertontonkan kepadaku ketika rasa sepi itu menghunggapiku.

Duka yang kualami ini,
Memberiku pelajaran untuk lebih MERELAKAN.
Membiarkan pergi yang seharusnya tidak kumuliki
Walaupun sekuat tenaga aku mempertahankannya,
Namuk ada Yang lebih BERKUASA untuk itu
Dan kuyakin, dia aman bersamaNYA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar